Selasa, 21 Mei 2013

LAPORAN PENDAHULUAN PADA DECOMPENSATIO CORDIS UGD RSUD SUBANG

LAPORAN PENDAHULUAN PADA DECOMPENSATIO CORDIS 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dekompensasi kordis (DK) atau gagal jantung (GJ) adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat mempertahankan sirkulasi yang adekuat yang ditandai oleh adanya suatu sindroma klinis berupa dispnu (sesak nafaS), fatik (saat istirahat atau aktivitas), dilatasi vena dan edema, yang diakibatkan oleh adanya kelainan struktur atau fungsi jantung.
Insiden penyakit gagal jantung saat ini semakin meningkat. Dimana jenis penyakit gagal jantung yang paling tinggi prevalensinya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000 penduduk yang berusia 25 tahun. Sedang pada anak–anak yang menderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum umur 1 tahun, sedangkan sisanya terjadi antara umur 5 – 15 tahun.
Perlu diketahui, bahwa dekompensasi kordis pada bayi dan anak memiliki segi tersendiri dibandingkan pada orang dewasa, yaitu :
1. Sebagian besar penyebab gagal jantung pada bayi dan anak dapat diobati (potentially curable).
2. Dalam mengatasi gagal jantung tidak hanya berhenti sampai gejalanya hilang, melainkan harus diteruskan sampai ditemukan penyebab dasarnya.
3. Setelah ditemukan penyebabnya, bila masih dapat diperbaiki maka harus segera dilakukan perbaikan.
4. Lebih mudah diatasi dan mempunyai prognosis yang lebih baik daripada gagal jantung pada orang dewasa.
Sementara itu, menurut Aulia Sani, penyakit gagal jantung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data di RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus dari penyakit gagal jantung ini pada tahun 1997 adalah 248 kasus, kemudian melaju dengan pesat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. Karena itulah, penanganan sedini mungkin sangat dibutuhkan untuk mencapai angka mortalitas yang minimal terutama pada bayi dan anak-anak.
Faktor yang dapat menimbulkan penyakit jantung adalah kolesterol darah tinggi, tekanan darah tinggi, merokok, gula darah tinggi (diabetes mellitus), kegemukan, dan stres. Akibat lanjut jika penyakit jantung tidak ditangani maka akan mengakibatkan gagal jantung, kerusakan otot jantung hingga 40% dan kematian.
Menurut data yang diperoleh penulis hingga sekarang penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu (Sampurno,1993). WHO menyebutkan rasio penderita gagal jantung di dunia adalah satu sampai lima orang setiap 1000 penduduk. Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar 10% dari jumlah penduduk di Nusantara (www.depkes.go.id).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang pengkajian dengan masalah penyakit jantung.
b. Memperoleh gambaran tentang masalah dan diagnosa keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
c. Memperoleh gambaran tentang rencana keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
d. Melakukan tindakan keperawatan serta evaluasi proses tindakan keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
e. Melakukan evaluasi hasil yang dibahas melalui catatan perkembangan dengan masalah penyakit jantung.
f. Memperoleh gambaran tentang faktor penunjang dan faktor penghambat dalam penerapan asuhan keperawatan dengan masalah penyakit jantung.
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu metode ilmiah untuk menggambarkan hasil pengamatan secara sistematis.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab, yaitu :
Bab I: Pendahuluan berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan teoritis yang terdiri dari konsep dasar penyakit.
Bab III: Tinjauan kasus yang merupakan asuhan keperawatan mencakup pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Bab IV: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price, 1995).
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997 ).
Gagal jantung kongestif adalah keadaan yang mana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ; Ignatavicius and Bayne, 1997).
Menurut Braunwald, gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri.
Definisi alternatif menurut Packer, gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang rumit yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis (effort intolerance), retensi cairan, dan memendeknya umur hidup (reduced longevity). Termasuk di dalam kedua batasan tersebut adalah suatu spektrum fisiologi-klinis yang luas, mulai dari cepat menurunnya daya pompa jantung (misalnya pada infark jantung yang luas, takiaritmia atau bradikardia yang mendadak), sampai pada keadaan-keadaan di mana proses terjadinya kelainan fungsi ini berjalan secara bertahap tetapi progresif {misalnya pada pasien dengan kelainan jantung yang berupa pressure atau. volume overload dan hal ini terjadi akibat penyakit pada jantung itu sendiri, seperti hipertensi, kelainan katup aorta atau mitral dll).
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.
B. Anatomi dan Fisiologi Jantung
1. Anatomi Jantung
Beban Awal
Beban awal adalah derajat peregangan serabut miokardium pada akhir pengisian ventrikel atau diastolik. Meningkatnya beban awal sampai titik tertentu memperbanyak tumpang tindih antara filament-filamen aktin dan miosin, sehingga kekuatan kontraksi dan curah jantung meningkat. Hubungan ini dinyatakan dengan Hukum Starling, yaitu peregangan serabut-serabut miokardium selama diastol akan meningkatkan kekuatan kontraksi pada sistol (Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995).
Beban awal dapat meningkat dengan bertambahnya volume diastolik ventrikel, misalnya karena retensi cairan, sedangkan penurunan beban awal dapat terjadi pada diuresis. Secara fisiologis, peningkatan volume akan meningkatkan tekanan pada akhir diastol untuk menghasilkan perbaikan pada fungsi ventrikel dan curah jantung, namun pada ventrikel yang gagal, penambahan volume ventrikel tidak selalu disertai perbaikan fungsi ventrikel. Peningkatan tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan bendungan paru atau sistemik, edema akibat transudasi cairan dan mengurangi peningkatan lebih lanjut dari volume dan tekanan. Perubahan dalam volume intrakardia dan perubahan akhir pada tekanan bergantung pada kelenturan daya regang ruang-ruang jantung. Ruang jantung yang sangat besar, daya regangnya dapat menampung perubahan volume yang relative besar tanpa peningkatan tekanan yang bermakna. Sebaliknya, pada ruang ventrikel yang gagal, yang kurang lentur, penambahan volume yang kecil dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang bermakna dan dapat berlanjut menjadi pembendungan dan edema ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).
Kontraktilitas
Kontraktilitas menunjukkan perubahan-perubahan dalam kekuatan kontraksi atau keadaan inotropik yang terjadi bukan karena perubahan-perubahan dalam panjang serabut. Pemberian obat-obat inotropik positif seperti katekolamin atau digoksin, akan meningkatkan kontraktilitas, sedangkan hipoksia dan asidosis akan menekan kontraktilitas. Pada gagal jantung terjadi depresi dari kontraktilitas miokardium ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).
Beban Akhir
Beban akhir adalah besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai untuk mengejeksikan darah sewaktu sistolik. Menurut Hukum Laplace , ada tiga variabel yang mempengaruhi tegangan dinding yaitu ukuran atau radius intraventrikel, tekanan sistolik ventrikel dan tebal dinding. Vasokonstriksi arteri yang meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dapat meningkatkan tekanan sistolik ventrikel, sedangkan retensi cairan dapat meningkatkan radius intraventrikel. Pemberian vasodilator dan hipertrofi ventrikel sebagai konsekuensi lain dari gagal jantung dapat mengurangi beban akhir ( Carleton,P.F dan M.M. O’Donnell, 1995 ).
2. Fisiologi Jantung
Fisiologi otot jantung
Terdiri dari tiga tipe otot jantung yang utama yaitu otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus pengantar rangsangan, sebagai pencetus rangsangan. Tipe otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka dengan kontraksi otot yang lebih lama. Sedangkan serat khusus penghantar dan pencetus rangsangan berkontraksi dengan lemah sekali sebab serat-serat ini hanya mengandung sedikit serat kontraktif malahan serat ini menghambat irama dan berbagai kecepatan konduksi sehingga serat ini bekerja sebagai suatu sistem pencetus rangsangan bagi jantung.
Fungsi umum otot jantung
Sifat Ritmisitas/otomatis
Otot jantung secara potensial dapat berkontraksi tanpa adanya rangsangan dari luar. Jantung dapat membentuk rangsangan (impuls) sendiri. Pada keadaan fisiologis, sel-sel miokardium memiliki daya kontraktilitas yang tinggi.
Mengikuti hukum gagal atau tuntas
Bila impuls yang dilepas mencapai ambang rangsang otot jantung maka seluruh jantung akan berkontraksi maksimal, sebab susunan otot jantung merupakan suatu sinsitium sehingga impuls jantung segara dapat mencapai semua bagian jantung. Jantung selalu berkontraksi dengan kekuatan yang sama. Kekuatan berkontraksi dapat berubah-ubah bergantung pada faktor tertentu, misalnya serat otot jantung, suhu, dan hormon tertentu.
Tidak dapat berkontraksi tetanik
Refraktor absolut pada otot jantung berlangsung sampai sepertiga masa relaksasi jantung, merupakan upaya tubuh untuk melindungi diri.
Kekuatan kontraksi dipengaruhi panjang awal otot
Bila seberkas otot rangka diregang kemudian dirangsang secara maksimal, otot tersebut akan berkontraksi dengan kekuatan tertentu. Serat otot jantung akan bertambah panjang bila volume diastoliknya bertambah. Bila peningkatan diastolik melampaui batas tertentu kekuatan kontraksi akan menurun kembali.
C. Jenis-Jenis Gagal Jantung
Manifestasi klinis gagal Jantung sangat beragam dan bergantung pada banyak faktor antara lain etiologi kelainan Jantung, umur pasien, berat atau ringannya, terjadinya secara mendadak atau berlangsung perlahan dan menahun, ventrikel mana yang menjadi pencetus (bahkan pada fase siklus Jantung mana terjadinya proses ini), serta faktor-faktor lain yang mempercepat terjadi gagal Jantung.
1. Gagal Jantung Backward & Forward
Hipotesis backward failure pertama kali diajukan oleh James Hope pada tahun 1832: apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka darah akan terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena di belakangnya akan naik. Hipotesis forward failure diajukan oleh Mackenzie, 80 tahun setelah hipotesis backward failure. Menurut teori ini manifestasi gagal Jantung timbul akibat berkurangnya aliran darah (cardiac output) ke sistem arterial, sehingga terjadi pengurangan perfusi pada organ-organ yang vital dengan segala akibatnya.
Kedua hipotesis tersebut saling melengkapi, serta menjadi dasar patofisiologi gagal Jantung : Kalau ventrikel gagal mengosongkan darah maka menurut hipotesis backward failure :
a. Isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhirfase diastolik (end- diastolicpressure) meninggi.
b. Isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di belakang ventrikel yang gagal.
c. Atrium ini akan bekerja lebih keras (sesuai dengan hukum Frank – Starling).
d. Tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal akan meninggi.
e. Terjadi transudasi pada jaringan interstitial (baik pulmonal maupun sistemik)
Akibat berkurangnya curah Jantung serta aliran darah pada jaringan/organ yang menyebabkan menurunnya perfusi (terutama pada ginjal dengan melalui mekanisme yang rumit), yang akan mengakibatkan retensi garam dan cairan serta memperberat ekstravasasi cairan yang sudah terjadi. Selanjutnya terjadi gejala-gejala gagal Jantung kongestif sebagai akibat bendungan pada jaringan dan organ.
Kedua jenis kegagalan ini jarang bisa dibedakan secara tegas, karena kalau gagal Jantung kongestif, pada kenyataannya, kedua mekanisme ini berperan, kecuali pada gagal jantung yang terjadinya secara mendadak. Contoh forward failure : gagal ventrikel kanan akut yang terjadi akibat emboli paru yang masif, karena terjadinya peninggian isi dan tekanan pada ventrikel kanan serta tekanan pada atrium kanan dan pembuluh darah balik sistemik, tetapi pasien sudah meninggal sebelum terjadi ekstravasasi cairan yang menimbulkan kongesti pada vena-vena sistemik. Baik back¬ward maupun forward failure dapat terjadi pada infark jantung yang luas. Forward failure terjadi akibat berkurangnya output ventrikel kiri dan renjatan kardiogenik dan yang akan menimbulkan manifestasi berkurangnya perfusi jaringan/organ. Sedangkan backward failure terjadi karena adanya output yang tidak sama (inequal) antara kedua ventrikel, yang meskipun bersifat sementara berakibat terjadinya edema paru yang akut.
Hipotesis backward dan forward failure yang klasik ini meskipun banyak celah kelemahannya ditinjau dengan perkembangan konsep patofisiologi gagal jantung saat ini, masih tetap dapat menjadi pegangan untuk menjelaskan patogenesis gagal jantung terutama bagi para edukator.
2. Gagal Jantung Right-Sided dan Left-Sided
Penjabaran backward failure adalah adanya cairan bendungan di belakang ventrikel yang gagal merupakan petanda gagal jantung pada sisi mana yang terkena. Adanya kongesti pulmonal pada infark ventrikel kiri, hipertensi dan kelainan-kelainan pada katup aorta serta mitral menunjukkan gagal jantung kiri (left heart failure).
Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama, cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik : di kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura dll, dan menjadikan gambaran klinisnya sebagai gagal jantung kanan (right
heart failure).
3. Gagal Jantung Low-Output dan High-Output
Gagal Jantung golongan ini menunjukkan bagaimana keadaan curah Jantung (tinggi atau rendahnya) sebagai penyebab terjadinya manifestasi klinis gagal Jantung. Curah Jantung yang rendah pada penyakit jantung apa pun (bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati) dapat menimbulkan low-output failure. Sedangkan pada penyakit-penyakit dengan curah jantung yang tinggi misalnya pada tirotoksikosis, beri-beri, Paget’s, anemia dan fistula arteri-vena, gagal jantung yang terjadi dinamakan high-output failure.
4. Gagal Jantung Akut dan Menahun
Manifestasi klinis gagal jantung di sini hanya menunjukkan saat atau lamanya gagal jantung terjadi atau berlangsung. Apabila terjadi mendadak, misalnya pada infark jantung akut yang luas, dinamakan gagal jantung akut (biasanya sebagai gagal jantung kiri akut). Sedangkan pada penyakit-penyakit jantung katup, kardiomiopati atau gagal jantung akibat infark jantung lama, terjadinya gagal jantung secara perlahan atau karena gagal jantungnya bertahan lama dengan pengobatan yang diberikan, dinamakan gagal jantung menahun.
5. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Secara implisit definisi gagal jantung adalah apabila gagal jantung yang terjadi sebagai akibat abnormalitas fungsi sistolik, yaitu ketidak mampuan mengeluarkan darah dari ventrikel, dinamakan sebagai gagal jantung sistolik. Jenis gagal jantung ini adalah yang paling klasik dan paling dikenal sehari-hari, penyebabnya adalah gangguan kemampuan inotropik miokard. Sedangkan apabila abnor-malitas kerja jantung pada fase diastolik, yaitu kemampuan pengisian darah pada ventrikel (terutama ventrikel kiri), misalnya pada iskemia jantung yang mendadak, hipertrofi konsentrik ventrikel kiri dan kardiomiopati restriktif, gagal jantung yang terjadi dinamakan gagal jantung diastolik. Petanda yang paling nyata pada gagal jantung di sini adalah : fungsi sistolik ventrikel biasanya normal (terutama dengan pengukuran ejection fraction misalnya dengan pemeriksaan ekokardiografi).
D. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati.
Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 1995).
E. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
1. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik.
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan
3. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan medulla adrenal. Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus.
2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus.
3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I.
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium; tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial. Respon miokardium terhadap beban volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.
F. Manifestasi Klinis
Dampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sistem pulmonal antara lain :
1. Lelah
2. Angina
3. Cemas
4. Oliguri. Penurunan aktifitas GI
5. Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara lain :
1. Dyppnea
2. Batuk
3. Orthopea
4. Reles paru
5. Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.
Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :
1. Edema perifer
2. Distensi vena leher
3. Hati membesar
4. Peningkatan central venous pressure (CPV)
G. Komplikasi
Komplikasi dari decompensatio cordis adalah:
1. Syok kardiogenik.
2. Episode tromboemboli.
3. Efusi dan tamporiade perikardium
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut, dan guna mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
2. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau nekrotik pada penyakit jantung kotoner
3. Film X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran jantung
4. esho-cardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk menyajikan data tentang fungsi jantung
I. Faktor Resiko
1. Kebiasaan merokok
Yaitu bahwa rokok mengandung nikotin dan zat beracun yang berbahaya dan dapat merusak fungsi jantung. Nikotin pada rokok dapat meningkatkan faktor resiko kerusakan pembuluh darah dengan mengendapnya kolesterol pada pembuluh darah jantung koroner, sehingga jantung bekerja lebih keras.
2. Hipertensi
Yaitu meningkatnya tekanan darah sistolik karena pembuluh darah tidak elastis serta naiknya tekanan diastolic akibat penyempitan pembuluh darah tersebut, aliran darah pada pembuluh koroner juga naik.
3. Obesitas
Yaitu penumpukan lemak tubuh, sehingga menyebabkan kerja jantung tida normal dan menyebabkan kelainan.
4. Kolesterol tinggi
Yaitu mengendapnya kolesterol dalam pembuluh darah jantung koroner menyebabkan kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh menjadi lebih berat.
5. Diabetes Mellitus
Karena kadar glukosa yang berlebih bisa menimbulkan penyakit yang agak berat dan bersifat herediter.
6. Ketegangan jiwa/stres
Stres terjadi bias meningkatkan aliran darah dan penyempitan pada pembuluh darah koroner.
7. Keturunan
8. Kurang makan sayur dan buah
J. Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi hal yang diutamakan, terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
1. Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard.
2. Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.
3. Pengobatan hipertensi yang agresif.
4. Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung.
5. Memerlukan pembahasan khusus.
6. Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari.
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada penderita yang potentially curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis dapat dibagi menjadi :
1. Non medikamentosa.
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–benar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
2. Medikamentosa
Pengobatan dengan cara medikamentosa masih digunakan diuretik oral maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung. Sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) dimana digitalis memiliki mamfaat utama dalam menambah kekuatan dan kecepatan kontraksi otot. Jika ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
3. Operatif
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :
a. Revaskularisasi (perkutan, bedah).
b. Operasi katup mitral.
c. Aneurismektomi.
d. Kardiomioplasti.
e. External cardiac support.
f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.
g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).
h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.
i. Ultrafiltrasi, hemodialisis.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
o Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (keringat malam hari).
o Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu.
2. Sirkulasi
o Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.
o Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
o Tanda: Menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna, kepribadian neurotik.
4. Makanan / Cairan
o Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
o Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris
o Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
o Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
o Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
o Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah, gelisah.
7. Keamanan
o Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
o Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan / pembelajaran
o Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
o Tanda: Menunjukan kurang informasi.
Menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Fokus pengkajian keperawatan untuk pasien gagal jantung ditujukan untuk mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan cairan paru dan tanda serta gejala sistemis Semua tanda yang mengarah kesana harus dicatatt dan dilaporkan.
Pernapasan. Paru harus diauskultasi dengan interval sesering mungkin untuk menentukan ada atau tidak adanya krekel dan wheezing. Krekel terjadi oleh gerakan udara melalui cairan, dan menunjukkan terjadinya kongesti paru. Frekuensi dan dalamnya pernapasan juga harus dicatat.
Jantung. Jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 atau S4. Adanya tanda tersebut berarti bahwa pompa mulai mengalami kegagalan, dan pada setiap denyutan, darah yang tersisa didalam ventrikel makin banyak. Frekuensi dan irama juga harus dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat menunjukkan bahwa ventrikel memerlukan waktu yang lebih banyak untuk pengisian, serta terdapat stagnasi darah yang terjadi di atria dan pada akhirnya juga di paru.
Penginderaan/Tingkat Kesadaran. Bila volume darah dan cairan dalam pembuluh darah meningkat, maka darah yang beredar menjadi lebih encer dan kapasitas transpor oksigen menjadi berkurang. Otak tidak dapat bertoleransi terhadap kekurangan oksigen dan pasien mengalami konfusi.
Perifer. Bagian bawah tubuh pasien harus dikaji akan adanya edema. Bila pasien duduk tegak, maka yang diperiksa adalah kaki dan tungkai bawah; bila pasien berbaring telentang, yang dikaji adalah sakrum dan punggung untuk melihat adanya edema. Jari dan tangan kadang juga bisa mengalami edema. Pada kasus khusus gagal jantung, pasien dapat mengalami edema periorbital, dimana kelopak mata tertutup karena bengkak.
Hati diperiksa juga akan adanya hepatojugular refluks (HIR). Pasien diminta bernapas secara normal pada saat dilakukan penekanan pada hati selama 30 sampai 60 detik. Bila distensi vena leher meningkat lebih dari 1 cm,, maka tes ini positif menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena.
Distensi Vena Juguler. JVD Juga harus dikaji. Ini dilakukan dengan mengangkat pasien dengan sudut sampai 45°. Jarak antara sudut Louis dan tingginya distensi vena juguler ditentukan. (Sudut Louis adalah hubungan antara korpus sternum dengan manubrium). Jarak yang lebih dari 3 cm dikatakan tidak normal. Ingat bahwa ini hanya perkiraan dan bukan pengukuran pasti.
Haluaran Urin. Pasien bisa mengalami oliguria (berkurangnya haluaran urin kurang dari 100 dan 400 ml/24 jam) atau anuria (haluaran urin kurang dari 100 ml/24 jam). Maka penting sekali mengukur haluaran sesering mungkin untuk membuat dasar pengukuran efektivitas diuretik. Masukan dan haluaran harus dicatat dengan baik dan pasien ditimbang setiap hari, pada saat yang sama dan pada timbangan yang sama.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa Utama:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan dispnu akibat turunnya curah jantung.
b. Kecemasan berhubungan dengan kesulitan napas dan kegelisahan akibat oksigenasi yang tidak adekuat.
c. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan stasis vena.
d. Potensial kurang pengetahuan mengenai program perawatan diri berhubungan dengan tidak bisa menerima perubahan gaya hidup yang dianjurkan.
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
b. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
C. Perencanaan
Perencanaan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Tujuan. Tujuan utama mencakup bertambahnya istirahat, penghilangan kecemasan, pencapaian perfusi jaringan yang normal, pemahaman mengenai program perawatan diri dan tidak terjadi komplikasi.
Diagnosa Keperawatan 1) :
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil
Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
Tindakan:
o Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
o Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
o Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
o Koreksi kesimbangan asam basa
o Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler)
o Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
o Lakukan balance cairan
o Batasi intake cairan
o Evaluasi kongesti paru lewat radiografi
o Kolaborasi :
 RL 500 cc/24 jam
 Digoxin 1-0-0
 Furosemid 2-1-0
Rasional
o Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
o Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
o Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas.
o Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
o Meningkatkan ekpansi paru
o Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
o Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.
o Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.
Diagnosa Keperawatan 2) :
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60), Frekwensi jantung normal.
Tindakan
o Pertahankan pasien untuk tirah baring
o Ukur parameter hemodinamik
o Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
o Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
o Periksa BGA dan saO2
o Pertahankan akses IV
o Batasi Natrium dan air
o Kolaborasi :
 ISDN 3 X1 tab
 Spironelaton 50 –0-0
Rasional
o Mengurangi beban jantung
o Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
o Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung.
o Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole. Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.
o Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
o Mencegah peningkatan beban jantung
o Meningkatkan perfusi ke jaringan
o Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.
Intervensi Keperawatan menurut Brunner & Suddarth, 2002:
Bertambahnya Istirahat. Pasien perlu sekali beristirahat baik secara fisik maupun emosional. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga merangsang diuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal. Istirahat juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen. Frekuensi jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole pemulihan sehingga memperbaiki efisiensi kontraksi jantung.
Posisi. Kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 sampai 30 cm (8-10 inci) atau pasien didudukkan di kursi. Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung (preload) dan paru berkurang, kongesti paru berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma menjadi minimal. Lengan bawah harus disokong dengan bantal untuk mengurangi kelelahan otot bahu akibat berat lengan yang menarik secara terus-menerus.
Pasien yang dapat bernapas hanya pada posisi tegak (ortopnu) dapat didudukkan di sisi tempat tidur dengan kedua kaki disokong kursi, kepala dan lengan diletakkan di meja tempat tidur dan vertebra lumbosakral disokong dengan bantal (lihat GAMBAR 28-10).
GAMBAR 28-10. Pasien dengan gagal jantung kongestif dapat berbaring dengan posisi seperti dalam gambar untuk mengurangi kesulitan bernapas dan mengurangi jumlah darah yang kembali ke jantung, yang dapat mengurangi kongesti paru.
Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik pasien didudukkan di kursi karena posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan dari paru. Edema yang biasanya terdapat di bagian bawah tubuh, berpindah ke daerah sakral ketika pasien dibaringkan di tempat tidur.
Penghilangan Kecemasan. Karena pasien yang mengalami gagal jantung mengalami kesulitan mempertahankan oksigenasi yang adekuat, maka mereka cenderung gelisah dan cemas karena sulit bernapas. Gejala ini cenderung memburuk pada malam hari.
Menaikkan kepala tempat tidur dan membiarkan lampu menyala di malam hari sering sangat membantu. Kehadiran anggota keluarga cukup memberi rasa aman pada kebanyakan pasien. Oksigen dapat diberikan selama stadium akut untuk mengurangi kerja pernapasan dan untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Morfm dengan dosis kecil dapat diberikan untuk dispnu yang berat dan hipnotis juga dapat diberikan untuk membantu pasien tidur.
o Pada pasien dengan kongesti hepatik, hati tidak mampu melakukan proses detoksifikasi racun obat-obatan dalam jangka waktu yang normal. Oleh sebab itu obat-obat harus diberikan secara hati-hati.
o Hipoksia serebral yang disertai retensi nitrogen merupakan masalah pada gagal jantung dan dapat menyebabkan pasien bereaksi negatif terhadap penenang dan hipnotik, ditandai dengan adanya konfusi dan peningkatan rasa cemas.
o Hindari penggunaan ikatan karena dapat menjerat, yang menyebabkan kerja jantung meningkat.
Pasien yang tidak dapat tidur di tempat tidur di malam hari dapat duduk dengan nyaman di kursi. Posisi ini menyebabkan sirkulasi serebral maupun sistemik membaik, sehingga kualitas tidur menjadi lebih baik.
Menghindari Stres. Pasien yang sangat cemas tidak akan mampu beristirahat dengan cukup. Stres emosional mengakibatkan vasokonstriksi, tekanan arteri meningkat, dan denyut jantung cepat. Memberikan kenyamanan fisik dan menghindari situasi yang cenderung menyebabkan kecemasan dan agitasi dapat membantu pasien untuk rileks. Istirahat dilanjutkan beberapa hari hingga beberapa minggu sampai gagal jantung dapat dikontrol.
Memperbaiki Perfusi Jaringan Normal. Penurunan perfusi jaringan yang terjadi pada gagal jantung adalah akibat tingkat sirkulasi oksigen yang tidak adekuat dan stagnasi darah di jaringan perifer. Latihan harian ringan dapat memperbaiki aliran darah ke jaringan perifer. Oksigenasi yang adekuat dan diuresis yang sesuai juga dapat memperbaiki perfusi jaringan. Diuresis yang efektif dapat mengurangi pengenceran darah, sehingga meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dalam sistem vaskuler. Istirahat yang memadai sangat penting untuk memperbaiki perfusi jaringan yang adekuat.
o Bahaya yang dapat timbul pada tirah baring, adalah dekubitus (terutama pada pasien edema), flebotrombosis, dan emboli pulmoner. Perubahan posisi, napas dalam, kaus kaki elastik, dan latihan tungkai semuanya dapat memperbaiki tonus otot, sehingga membantu aliran balik vena ke jantung.
Penyuluhon Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Setelah gagal jantung dapat terkontrol, pasien dibimbing untuk secara bertahap kembali ke gaya hidup dan aktivitas sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup sehari-hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apnu dan kelelahan. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan hubungan interpersonal biasanya harus dilakukan. Setiap aktivitas yang menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan adaptasi. Pasien dibantu untuk mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk menyelesaikannya.
Biasanya pasien sering kembali ke klinik dan rumah sakit akibat kekambuhan episode gagal jantung. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan masalah psikologis, sosiologis dan finansial tetapi beban fisiologis pasien akan menjadi lebih serius. Organ tubuh tentunya akan rusak. Serangan berulang dapat menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, pembesaran limpa dan ginjal, dan bahkan kerusakan otak akibat kekurangan oksigen selama episode akut.
Memberikan penyuluhan kepada pasien dan melibatkan pasien dalam implementasi program terapi akan memperbaiki kerjasama dan kepatuhan. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung terjadi karena pasien tidak mematuhi terapi yang dianjurkan, seperti tidak mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang berlebihan dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan.
Pasien harus dubantu untuk memahami bahwa gagal jantung dapat dikontrol. Menyusun jadwal tindak lanjut medis secara teratur, menjaga berat badan yang stabil, membatasi asupan natrium, pencagahan infeksi, menghindari bahan berbahaya seperti kopi, tembakau, dan menghindari latihan yang tidak teratur dan berat semuanya membantu mencegah awitan gagal jantung. Pada pasien denga penyakit kattup jantung, maka pembedahan untuk memperbaiki defek pada saat yang tepat dapat mempertahankan jantung dan mencegah kegagalan.
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul, 2003).
D. Implementasi
Implementasi ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana tindakan keperawatan yang telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan diberikan kepada pasien. Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat :
1. Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan
2. Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3. Menyiapkan lingkungan terapeutik
4. Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
5. Memberikan asuhan keperawatan langsung
6. Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.
Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien, menelaah, dan memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada, mengidentifikasi area dimana bantuan dibutuhkan untuk mengimplementasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan.
Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan tambahan keterampilan dan personal. Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat dari pengkajian keperawatan, Prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan keperawatan atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk memastikan bahwa orang yang didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas sesuai dengan standar keperawatan.
E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan ini disusun menurut Patricia A. Potter (2005)
Evaluasi merupakan proses yang dilakuakn untuk menilai pencapaian tujuan atau menilai respon klien terhadap tindakan leperawatan seberapa jauh tujuan keperawatan telah terpenuhi.
Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif. Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah kegiatan keperawatan yang telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokoskan pada masalah satu dari tiga dimensi struktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi hasil tindakan yang dilakukan.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data keperawatan pasien.
2. Menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien.
3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang berlaku.
Hasil yang diharapkan:
1. Mengalami penurunan kelelahan dan dispnea.
a. Mampu beristirahat secara adekuat baik fisik maupun emosional.
b. Berada pada posisi yang tepat yang dapat mengurangi kelelahan dan dispnu.
c. Mematuhi aturan pengobatan.
2. Mengalami penurunan kecemasan.
a. Menghindari situasi yang menimbulkan stress.
b. Tidur nyenyak di malam hari.
c. Melaporkan penurunan stres dan kecemasan.
3. Mencapai perfusi jaringan yang normal.
a. Mampu beristirahat dengan cukup.
b. Melakukan aktivitas yang memperbaiki aliran balik vena; latihan harian sedang; rentang gerak ekstremitas aktif bila tidak bisa berjalan atau harus berbaring dalam waktu lama, mengenakan kaus kaki penyokong.
c. Kulit hangat dan kering dengan warna normal.
d. Tidak memperlihatkan edema perifer.
4. Mematuhi aturan perawatan diri.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui, bahwa penyakit dekompensasi kordis masih merupakan masalah yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi terutama pada bayi dan anak, jika tidak ditangani dengan baik.
Gagal jantung adalah kelainan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan akibat dari meningkatnya beban awal atau beban akhir atau menurunnya kontraktilitas miokard.
Penanganan dari gagal jantung memerlukan perhitungan serta pertimbangan yang tepat agar tidak memperburuk keadaan jantung dari penderita. Selain itu edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan sangatlah penting terutama bagi orang tua dan keluarga pasien agar dapat membantu memaksimalkan proses penyembuhan dan menurunkan angka mortalitas. Istirahat serta rehabilitasi, pola diet, kontrol asupan garam, air, monitor berat badan adalah cara–cara yang praktis untuk menghambat progresifitas dari penyakit ini. Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus. Konseling mengenai obat, baik khasiat maupun efek samping.
Transplantasi jantung sebagai alternatif lain memberikan tingkat kesembuhan yang cukup tinggi, 84% bertahan hidup sampai lima tahun dan 70% bertahan sampai 10 tahun. Hanya kendalanya pada fasilitas yang rumit dan biaya transplantasi yang mahal. Negara-negara tertentu saja yang dapat melakukan transplantasi seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.
B. Saran
Saran sesuai dengan masalah yang telah disimpulkan oleh penulis, pada akhir makalah penulis memberikan saran bahwa untuk penaggulangan penyakit decompensatio cordis, masyarakat harus mengurangi kebiasaan merokok, pengurangan makanan berkolesterol tinggi, makanan berlebih yang menyebabkan obesitas, perbanyak makan sayur dan buah, kurangi stress dan lainnya yang telah tertulis dalam makalah guna memperkecil resiko decompensatio cordis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar